Beranda | Artikel
Mulai Dari Mana?
Rabu, 23 Desember 2009

Semakin penting kiranya di masa penuh fitnah semacam ini kita merenung dan berpikir sebelum memulai segala aktifitas dan perjalanan. Tak salah kiranya jika Imam Bukhari rahimahullah di dalam Shahihnya mengatakan bahwa al-‘Ilmu qablal qauli wal ‘amali (ilmu sebelum berkata dan berbuat). Sungguh sebuah kalimat nan indah yang ringkas dan padat serta mencerminkan kedalaman ilmu seorang ulama yang berusaha untuk mengajak umat kembali kepada Sunnah yang suci. Hal itu mengingatkan kita akan kandungan firman Allah ta’ala (yang artinya), “Janganlah kau ikuti segala sesuatu yang kau tak punya ilmu tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati itu semua akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. al-Israa’: 36).

Kalau bukan karena pentingnya ilmu maka tentu Allah tidak akan memerintah umat agar bertanya kepada ahlinya ketika mereka tidak memiliki ilmu tentang perkara apa saja. Allah berfirman (yang artinya), “Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui tentang suatu perkara.” (QS. an-Nahl: 43). Demikian pula Allah menyertakan persaksian ahli ilmu dengan persaksian-Nya dan persaksian para malaikat dalam firman-Nya (yang artinya), “Allah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Dia, demikian juga para malaikat dan orang-orang berilmu pun bersaksi, demi tegaknya keadilan…” (QS. Ali Imran: 18).

Karena sedemikian pentingnya ilmu pula maka seorang da’i manapun tak akan benar pengakuannya sebagai pengikut Nabi jika dia tidak mendasari dakwahnya di atas landasan ilmu dan bashirah dari Rabbnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Inilah jalanku, aku ajak kalian kepada Allah di atas landasan bashirah/ilmu, inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku…” (QS. Yusuf: 108). Karena pentingnya ilmu pula maka syahadat seorang hamba tak akan bernilai di sisi Allah jika tidak dibangun di atas ilmu tentang kandungan maknanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mengilmu bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah maka dia akan masuk surga.” (HR. Muslim [26] dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu, lihat Syarh Muslim [2/63-64])

Itu semua menunjukkan kepada kita betapa pentingnya ilmu dan sungguh besar kebutuhan kita kepadanya.

Namun, kita juga perlu sejenak merenung tentang hakekat ilmu yang dikehendaki Allah bagi kita. Sebab kita semua mengetahui bahwa tujuan hidup kita di alam dunia ini adalah untuk beribadah kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka tunduk beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56). Sebab ternyata di antara ilmu ada juga yang tidak bermanfaat bagi pemiliknya. Dalam sebuah hadits yang sahih Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan doa, “Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati hati yang tidak khusyu’, nafsu yang tidak pernah kenyang, dan doa yang tidak didengar.” (Shahihul Jami’, lihat takhrij Kitab al-Iman hal. 28).

Untuk memperjelas hal ini marilah kita cermati kandungan firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir: 28). Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Allah memberitakan bahwa setiap orang yang takut kepada Allah maka dia adalah orang yang berilmu.” (al-Iman, hal. 20). Oleh sebab itu pula para ulama kita yang terdahulu mengatakan, “Waspadalah dari fitnah (bahaya) yang timbul akibat orang berilmu yang fajir dan ahli ibadah yang bodoh/jahil….” (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 668). Ibnul A’rabi rahimahullah berkata, “Seorang yang berilmu tidak dikatakan sebagai alim Rabbani sampai dia menjadi orang yang berilmu, mengajarkan ilmunya, dan mengamalkannya.” (lihat Fath al-Bari [1/197])

Maka seperti apakah ilmu yang bermanfaat itu? Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Batasan suatu ilmu disebut sebagai ilmu yang bermanfaat -sebagaimana yang kukatakan di dalam nazham- adalah ia dapat menyingkirkan dua perkara dari dalam hati, yaitu syubhat dan syahwat. Sebab syubhat akan mewariskan keragu-raguan. Sementara syahwat akan menyebabkan kotor dan kerasnya hati dan membuat badan malas untuk menjalankan ketatan. Sehingga ciri ilmu yang bermanfaat adalah yang bisa menghilangkan dua buah penyakit besar ini.” (al-Qawa’id al-Fiqhiyah, hal. 12)

Dengan ungkapan yang lebih ringkas dapat kita katakan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang mampu menepis terpaan fitnah. Kalau anda bertanya, darimanakah ilmu semacam itu diperoleh, apakah dari novel, cerpen, koran, ataukah tabloid olah raga? Tentu saja jawabannya adalah dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Nuniyah-nya bahwa obat dari penyakit kebodohan adalah ‘Dengan dalil dari al-Qur’an atau Sunnah’, sedangkan dokternya adalah ‘Seorang alim Rabbani’ (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul Shalih alu Syaikh, hal. 8).

Kemudian, di antara sekian banyak kandungan ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah, manakah yang paling utama dan harus lebih diprioritaskan?

Sebagaimana kita ketahui bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Demikian pula para rasul diutus untuk mengajak manusia agar mentauhidkan-Nya dan menjauhi syirik. Begitu pula da’i yang diutus oleh Nabi beliau pesankan agar memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid, sebagaimana dalam kisah Mu’adz yang diutus ke Yaman. Maka dari sini kita bisa memetik sebuah pelajaran yang sangat berharga bahwa ilmu yang paling utama dan harus diprioritaskan adalah ilmu tauhid.

Hal itu telah ditegaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, “Ilmu tentang Allah merupakan pokok semua ilmu, dan ia merupakan pokok ilmu hamba mengenai kebahagiaan, kesempurnaan, dan kemaslahatan dirinya selama di dunia dan di akherat. Sementara itu, kebodohan tentangnya merupakan sebab ketidakmengertian dirinya terhadap dirinya sendiri, tentang apa yang baik baginya, tentang apa yang menyempurnakan dirinya, apa yang bisa membersihkan jiwanya dan sebab yang bisa mengantarkannya menuju keberuntungan. Oleh sebab itu ilmu tentangnya merupakan sumber kebahagiaan seorang hamba. Dan kebodohan tentangnya merupakan sumber kebinasaan dirinya.” (Miftah Dar as-Sa’adah, dikutip dari Mu’taqad Ahlis Sunnah fil Asma’ wa Shifat, Syaikh  Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi, hal. 14)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah yang menciptakan tujuh lapis langit dan seperti itu pula bumi, turun perintah Allah di antara itu semua agar kalian mengetahui bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu dan bahwasanya Allah ilmunya mencakup segala sesuatu.” (QS. ath-Thalaq: 12)

Ilmu inilah yang apabila tertanam kuat di dalam hati akan membuahkan rasa takut kepada Allah. Sebab masing-masing nama Allah akan memberikan pengaruh tertentu bagi hati dan perilaku. Apabila hati seorang hamba telah mengenal kandungan nama-nama Allah dan senantiasa tertancap dalam pikirannya maka hal itu pasti akan mempengaruhi cara berpikir dan tingkah lakunya. Seperti contohnya, ilmu bahwasanya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat. Ilmu bahwa tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah di langit ataupun di bumi, meskipun sekecil anak semut, dan bahwasanya Allah mengetahui perkara yang rahasia ataupun yang tersembunyi, Allah mengetahui pandangan mata yang khianat serta apa yang disembunyikan di dalam dada manusia. Maka ilmu semacam itu akan membuahkan sikap menjaga lisan, menjaga anggota badan, serta memelihara keinginan yang terbersit dalam hatinya agar tidak terjerumus dalam perkara yang tidak diridhai oleh Allah. Sehingga hal itu akan menumbuhkan rasa malu di dalam hati dan menjauhkannya dari berbagai perkara yang diharamkan (lihat Mu’taqad Ahlis Sunnah fil Asma’ wa Shifat, hal. 22-23)

Pada masa yang penuh dengan fitnah seperti sekarang ini, ilmu semacam ini sangat-sangat dibutuhkan. Tidakkah kita ingat firman Allah ta’ala (yang artinya), “Ingatlah Aku niscaya Aku pun akan mengingat kalian.” (QS. al-Baqarah: 152). Berdzikir kepada Allah tidak terbatas pada tahlil, takbir, tasbih dan tahmid. Namun termasuk dalam cakupan dzikir segala bentuk ketaatan kepada Allah, dan yang teragung di antaranya adalah mengingat kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dan tidaklah berdzikir yang dimaksud terbatas pada dzikir dengan lisan, akan tetapi ia mencakup dzikir hati dan lisan. Mengingat-Nya mengandung ingatan/dzikir terhadap nama-nama dan sifat-sifat-Nya, mengingat perintah dan larangan-Nya, serta mengingat-Nya dengan -membaca- Kalam-Nya (al-Qur’an)…” (al-Fawa’id, hal. 124)

Imam Ahmad meriwayatkan dari Sahl bin Mu’adz bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jihad manakah yang paling besar pahalanya, wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Yaitu yang paling banyak mengingat Allah di antara mereka.” Kemudian dia bertanya, “Siapakah di antara orang-orang yang berpuasa yang paling besar pahalanya?”. Beliau menjawab, “Yaitu yang paling banyak mengingat Allah di antara mereka.” Kemudian beliau menyebutkan kepada kami sholat, zakat, haji, dan sedekah. Semuanya dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa yang paling utama adalah, “Yang paling banyak mengingat Allah di antara mereka.” Maka Abu Bakar berkata, “Orang-orang yang rajin berdzikir benar-benar memborong berbagai kebaikan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Benar.” (lihat Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, hal. 558).

Rabi’ bin Anas menyampaikan ucapan sebagai sahabatnya, “Tanda kecintaan kepada Allah adalah dengan banyaknya mengingat-Nya, sebab tidaklah kamu mencintai sesuatu melainkan pasti kamu sering menyebut-nyebutnya.” Fath al-Mushili mengatakan, “Orang yang benar-benar mencintai Allah tidak akan lalai mengingat Allah meskipun sekejap mata”. Dzun Nun berkata, “Barangsiapa yang menyibukkan hati dan lisannya dengan dzikir maka Allah akan menanamkan ke dalam hatinya kerinduan untuk berjumpa dengan-Nya.” Abu Ja’far berkata, “Seorang wali Allah dan orang yang benar-benar mencintai karena Allah maka hatinya tidak akan pernah kosong dari mengingat Allah dan tidak merasa bosan dari mengabdi kepada-Nya.” (atsar-atsar ini dikutip dari Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, hal. 559).

Seorang penyair berkata,
“Bagaimana mungkin seorang kekasih bisa melupakan ingatan akan kekasihnya,
sementara namanya senantiasa tertulis di dalam hatinya?!”
(Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, hal. 560).

Tidakkah kita ingat seorang hamba yang akan mendapatkan keistimewaan berupan naungan Arsy Allah di hari kiamat, ketika tiada naungan kecuali naungan dari-Nya? Dialah seorang lelaki yang mengingat Allah dalam keadaan sepi dan sendirian kemudian berlinanglah air matanya… Ya Allah, jadikanlah kami termasuk di antara mereka…

Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, “Dzikir merupakan kelezatan yang bisa dirasakan oleh setiap orang yang mengenal Allah.” (Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, hal. 562).

Dikisahkan bahwa Abu Muslim al-Khaulani adalah orang yang sangat sering berdzikir. Maka orang-orang yang menyaksikan perbuatannya itu mengingkarinya. Orang itu mengatakan, “Apakah teman kalian itu gila?”. Abu Muslim pun mendengarnya, lantas beliau berkata, “Tidak wahai saudaraku, akan tetapi ini adalah obat untuk penyakit gila.” (Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, hal. 562).

Dikisahkan bahwa ada dua orang salaf yang bertemu di pasar. Maka salah seorang di antara mereka berkata kepada sahabatnya, “Marilah kita bersama-sama ke sebuah tempat untuk mengingat Allah di tengah-tengah kelalaian manusia ini.” Kemudian mereka berdua menyepi ke sebuah tempat -di sana-. Kemudian mereka berdua bersama-sama mengingat Allah lalu berpisah. Tak berapa lama kemudian, meninggallah salah seorang di antara mereka berdua. Kemudian temannya yang masih hidup bermimpi ditemui olehnya, lalu temannya -yang sudah mati- itu berkata kepadanya, “Apakah kamu dapat merasakan bahwa Allah telah mengampuni kita di sore hari ketika kita berdua berjumpa di pasar itu?” (Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, hal. 564).

Allahummaghfir lana dzunubana…


Artikel asli: http://abumushlih.com/mulai-dari-mana.html/